Kisah...
Namanya Siti Nuryalina Purba, yang akrab dipanggil butet. Perempuan berparas cantik itu hanya duduk di atas tempat tidur kayu dalam ruangan dua kali dua meter yang menjadi tempat pemasungannya. Perempun itu telah dipasung oleh keluarganya selama 20 tahun bersama adiknya lantaran menderita gangguan jiwa. Perilakunya yang semakin kasar sejak SMA membuat ibunya harus merelakan sag putrid dipasung meskipun dengan deraian air mata. Selama butet berada dalam pasungannya ia telah mengalami beberapa kali pemerkosaan selama ia berada dalam pemasungan bahkan melahirkan bayi-bayi yang tidak berdosa di sana. Tak hanya itu, ia juga harus menerima penghinaan dari orang lain.
Semua hal yang terjadi pada siti disebabkan oleh keterbatasan ekonomi yang menjadi faktor kondisi butet yang terpasung. (tribun)
Inilah kenyataan bahwa masih banyak orang dengan gangguan jiwa yang di pasung, bahkan dengan kondisi-kondisi yang sangat ekstrem, seperti di tahan dengan kayu, di rantai, di kandang atau diasingkan di tengah hutan jauh dari masyarakat.
Banyak alasan mengapa keluarga harus memasung orang dengan gangguan jiwa, antara lain:
1. Mengganggu orang lain atau tetangga
2. Membahayakan dirinya sendiri
3. Jauhnya akses pelayanan kesehatan
4. Tidak ada biaya
5. Ketidakpahaman keluarga dan masyarakat tentang gangguan jiwa.
Maka dengan sebab itulah mereka, orang dengan gangguan jiwa dipasung oleh keluarganya.
Peraturan Perundangan tentang Pasung
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan.
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa.
Kemudian dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 149 menjelaskan bahwa penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau kemanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari data Riskesdas 2007, ada sekitar 13.000-24.000 orang dengan masalah kejiwaan yang di pasung. Jumlah ini belum termasuk orang gangguan jiwa yang terlantar, diabaikan dan menggelandang.
"Dalam bidang medis tidak ada istilah pasung. Pasung itu adalah persepsi masyarakat pada orang gangguan jiwa supaya tidak mengganggu orang lain," tutur dr Ratna Rosita, MPHM, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, pada Pertemuan Lintas Sektor dalam Mencapai Akses Kesehatan Jiwa dan Menuju Indonesia Bebas Pasung, di Gedung Kemenkes, Jakarta, Kamis (7/10/2010).
Oleh karena itu, adanya menghimbau untuk tidak boleh ada stigma, diskriminasi dan marjinalisasi pada penderita gangguan jiwa. Tidak boleh ada orang gangguan jiwa yang dipasung
Beberapa tindakan yang harus dilakukan jika menemukan orang-orang dengan gangguan jiwa, antara lain:
1. Memastikan kondisi kesehatan fisik orang gangguan jiwa tersebut dala keadaan sehat.
2. Memberikan informasi tentang kondisi yang selayaknnya yang diterima oleh gangguan jiwa.
3. Melaporkan kepada pusat kesehatan terdekat/pukesmas tentang keberadasn orang gangguan jiwa tersebut.
4. Serta tidak mengucilkan keluarga yang melakukan pemasungan tersebut
Berikut ini ada beberapa rekomendasi dari WHO untuk kesehatan mental aceh, silah klik disini.