rel='shortcut icon'/>

Selasa, 02 Agustus 2011

Story of 'Meugang'


Meugang adalah salah satu tradisi yang ada di Aceh dimana kebiasaan orang aceh untuk membeli daging di hari sebelum puasa ramadhan dilaksanakan. Biasanya daging meugang tersebut kemudian dimasak oleh setiap keluarga di aceh. Tradisi meugang sendiri muncul tidak hanya ketika ramadhan datang, namun juga hadir ketika idul fitri dan idul adha tiba, sehari sebelumnnya.
Bicara soal meugang. Ada hal yang menarik yang pernah berkesan tentangnya. Dulu ketika aku sekolah di MAN Model di Banda Aceh, entah bagaimana jadinya aku menjadi salah satu siswa yang diperbolehkan untuk mengikuti sebuah pelatihan yang selenggarakan oleh lembaga menulis di aceh. Lalu, selama pelatihan tersebut kami diajarkan tentang bagaimana cara membuat sebuah tulisan yang akhirnya kami diminta menuliskan sebuah tulisan tentang gender. Lalu, pada akhirnya akupun menuliskan cerita tentang gender.
Hal yang menarik lainnya selama mengikuti pelatihan tersebut, ada sebuah kisah yang terbalut tentang meugang yang terjadi di sebuah daerah di Aceh dulunya. Ini dia kisahnya:
Terdapat sebuah rumah yang ditempati oleh sebuah keluarga. Dalam keluarga tersebut terdapat seorang istri, suami, anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Sang suami adalah laki-laki yang bekerja sebagai petani dan sesekali mencari kayu bakar di tengah hutan untuk dipakai di rumahnya.
Suatu hari. Sang anak yang perempuan begitu bersemangat bermain di luar rumah bersama abang dan teman-temannya. Namun demikian, tak lama kemudian dia pulang dengan wajah yang lesu. Melihat hal tersebut, ibupun bertanya ada anak tersebut mengapa dia tidak bermain lagi dengan anak-anak lainnya. Lalu, sang anak menjawab,
“Sebentar lagi meugang, mak, semua teman-teman bersemangat dengan meugang, kata mereka nantidi rumahnya ada daging yang akan disantap dirumahnya, mereka enak sekali ya, mak... apakah nanti kita juga akan mendapatkan daging meugang, mak?”, ibunya seketika diam dan melihat ke arah meja makan yang hanya tersisa nasi putih untuk dimakan ayah mereka ketika pulang nanti.
“Nak, kita tidak punya uang untuk beli daging meugang”, kata sang ibu kepada anaknya.  Namun tiba-tiba sang anak menangis sejadi-jadinya sambil menghentak-hentakkan badannya ke tanah.
Di luar rumah, perkataan si anak kecil tersebut ternyata didengarkan oleh suaminya yang sejak tadi berada di belakang rumah meletakkan kayu-kayu yang ia temukan di dalam hutan. Lalu, suaminya pun pergi meninggalkan rumah dan mengunjungi rumah 2 orang saudara kandungnya, berharap ada beberapa potong daging yang bisa diberikan kepada mereka untuk dimakan.
Ketika sampai di rumah pertama milik saudara perempuannya, sang suamipun berhenti sejenak dan mendengarkan tangisan seorang anak kecil di dalamnya yang meminta makanan. Mendengar hal tersebut, suami tersebut merasa bahwa sepertinya mereka tidak hal mungkin memiliki daging meugang, bahkan untuk makan saja mereka tidak ada. Lalu iapun berlalu pergi. Sesampainya di rumah ke dua, milik saudara laki-lakinya ia melihat kondisi yang sama dengan kondisi saudara perempuannya. Lalu iapun memilih untuk berlalu pergi. Hingga pada akhirnya, suami tersebut merasa bingung dan cemas apa yang harus dia lakukan agar bisa membawa daging kerumah.
Beberapa waktu kemudian, sang suami tersebut pulang sambil membawa daging untuk dimakan olehkeluarganya. Awalnya sang istri merasa bingung dari mana suaminya dapat menemukan uang atau daging untuk di santap. Namun suaminyapun hanya tersenyum dan ikut bergembira melihat anaknya makan dengan lahap.
Nah, tahukah teman, daging apa yang dibawa pulang oleh suaminya tersebut? Daging yang dibawa pulang oleh laki-laki tersebut adalah daging dari bagian tubuhnya yang sebelumnnya ia potong sedikit dan dibawa pulang. Tak ada satupun yang mengetahui hal tersebut, hingga pada akhirnya setelah makan dan beberapa hari kemudian istrinya sendiri yang melihat ada keganjilan dari tubuh suaminya lalu barulah ia menceritakan tentang daging meugang tersebut.
Itulah sepenggal kisah yang pernah mampir dalam memoriku tentang meugang di Aceh. Tradisi Aceh yang sudah sejak turun-temurun muncul di kota serambi mekkah ini. Awalnya aku berfikir bahwa ituadalah sebuah kisah fiksi belaka, yang kemungkinan muncul sebagai kisah sedih di hari meugang. Tapi, ternyata itu benar adanya terjadi di masa yang lampau. Bahkan di daerah terpencil lainnya, aku pikir masih ada juga keluarga yang sang ayah harus mencuri demi sepotong daging meugang.
Kisah ini adalah kisah yang memberitahukan aku tentang kentalnya tradisi meugang tersebut di kota kelahiranku. Hingga pada akhirnya laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga harus berfikir keras di hari tersebut. mungkin layak jika akhirnya aku berkata dalam pelatihan tersebut hingga saat ini bahwa “meugang itu, laki-laki membawa pulang daging”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews