Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan  ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan,  friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada  masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh  solusi tepat dan segera.
Jika merujuk  kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya,  yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya  bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam  dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam  tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan  jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu  adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa  mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka  akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”
Karena  itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik.  Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang  paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.
Kedudukan Ikhlas
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas  adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama  dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku,  ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”  (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka  tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan  kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw.  bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala  Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah  kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya,  maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda,  “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas  dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu  (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan  ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar  tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus  ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan  benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan  pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam  Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu  Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk  membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika  demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena  itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal  tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil  pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain  beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin  Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa  keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara  bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu  bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan  agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak  menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan  secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam  beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari  kotoran yang merusak.
Seseorang yang  ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari  kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang  dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor,  ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah  keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan  segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan  dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah  menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu,  bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh  perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap  ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia,  tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian  si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan  kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan  matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya;  dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter  seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya Riya
Makna  riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan  harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan  lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik.  Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang  munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan  apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka  bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah  mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya  juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw.  bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik  kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?”  Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika  membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di  dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR  Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti  mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan  amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa  berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas  kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak  menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak  akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1.  Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam  keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun  celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki  beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak  orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang  jika dicela.”
Perjalanan  waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam  beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka  maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam  beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an  telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat  orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik  dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat  At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari  akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad  dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang  bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah  orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati  mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam  keragu-raguannya.”
2.  Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama  manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan  bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan  seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti  debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan  kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi  mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.”  (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang  hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha  manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal,  baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak,  mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat  setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3.  Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa  senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai,  sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para  dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena  itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa  menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah.  Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih  popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar