rel='shortcut icon'/>

Kamis, 27 Januari 2022

Menuai Rasa 1

 Selamat pagi! 

Sudah sejak lama saya tiidak menulis kembali. entah kenapa, atau mungkin karena sedang gaduh, saya kembali mengetik-ngetik di sini. Banyak hal yang membuat saya sejenak meredap diri dengan aktifitas harian yang sekarang saya geluti. ada kalanya bahkan saya lebih sering menarik nafas panjang dan sejenak terdiam pada tingkah laku orang-orang di sekitar. 

Berprofesi menjadi psikolog klinis memang menjadi cita-cita saya sejak dulu, SMA. ketika pertama kali saya membaca buku KEVIN, Torey Hayden dan terdiam. Seketika itu saya ingin menjadi seseorang mampu menyelami dan mendampingi hidup mereka yang terjebak dengan masa lalu. Proses itu tidak mudah, namun saya sering kali mencoba untuk menyakinkan diri maupun orang tua, bahwa itu pilihan saya dan saya mampu berada di sana. 

Bagi orang tua saya, kemampuan saya dalam bidang MIPA jauh lebih unggul daripada kemampuan saya 'menari' dengan manusia. Saya paham akan proses yang panjang tentang keinginan itu, tetapi entah darimana kekuatan itu saya dapatkan, meskipun terkadang bergelut dengan emosi diri sendiri juga membuat saya merasa lelah. 

Seorang dosen di kampus UGM psikologi pernah berkata pada saya, "sebelum kamu melakukan terapi, kamu perlu untuk memiliki energi yang cukup untuk dirimu sendiri dan orang lain". Setelah itu, rasanya sering kali energi itu menjadi sebuah kebutuhan yang harus saya penuhi dulu untuk sendiri, sebelum saya melakukan pada orang lain. Waktupun membuat saya semakin banyak belajar, mencari energi yang baik untuk diri saya sendiri, sebelum saya berikan pada orang lain. Dan saat ini, saya pun semakin sensitif dalam bermain bersama energi. Kadang kala hanya sebentar bersama seseorang membuat saya menjadi terkulai lemah ataupun mungkin lebih bertenaga. 

Bekerja membuat saya akhirnya banyak mengenal orang-orang di sekitar saya. Menuai rasa dan 'menjajakan' empati meski terkadang dalam pergolakan emosi. Mereka bilang itu perlu dan dibutuhkan, agar tetap bisa 'sehat' dan diterima oleh sosial. Sedangkan, agama yang saya pahami mengajarkan saya untuk tidak bermuka dua. Bisa dikatakan, kini seperti saya sedang naik pentas drama dan memakai topeng dengan lakon menjadi orang lain. Seperti yang dulu pernah saya lakukan ketika masa perkuliahan. Tapi, entah kenapa jauh lebih sulit dalam kenyataan, ketimbang saya harus bermain di pentas drama dulu. 


Mungkin inilah mengapa orang tua saya pernah memastikan bahwa saya mampu atau tidak dalam menari bersama manusia. 


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews