* Siti Rahmah
Alumnus Prodi Psikologi
Universitas Syiah Kuala dan
Pendidikan Sultan Idris Universiti
Bagi saya, mengabdi dan peduli adalah dua pantulan yang saling
berhadapan. Keduanya saling mengait. Keduanya juga saling dibutuhkan bagi
mereka memerlukan. Saya memahami, kehidupan ini bukan sebatas berdiri di bayangan
sendiri dan menutup pagar pada kepentingan orang lain. Ada panggilan hati yang
mengajarkan pada berbagi. Dan itu saya temui pada mereka-mereka yang membuka
pintu hati lebih luas untuk saling peduli.
Saya menemui Ahmed, lelaki Sudan, saat kuliah di Malaysia. Lelaki Sudan
itu sedang melanjutkan pendidikan masternya. Namun ketika ia melihat banyaknya anak-anak
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang tidak memiliki pendidikan yang cukup baik di
Malaysia, Ia bersama rekannya membuat
kegiatan reguler untuk memberikan edukasi kepada anak-anak yang notabene bukan bagian dari negaranya.
Sama halnya
dengan Ahmed, kakak saya
pernah beberapa kali mengikuti kegiatan sosial di pelosok Aceh. Dia bercerita kepada saya sambil menangis, bahwa
betapa sayangnya anak-anak di daerah pedalaman Meulaboh
tersebut.
“Mereka di sana tidak ada sekolah. Jadi ketika mereka mau sekolah harus menyebrangi sungai yang kalau
musim hujan tiba, sungai itu bisa meluap dan mencapai batas dada orang dewasa.
Kalaupun ada guru, belum tentu sebulan sekali para guru itu datang. Tapi anak-anak itu begitu semangat untuk belajar, bahkan ketika kami
pulang mereka bertanya; kapan kembali lagi kemari,
kakak?” ceritanya.
Ketika saya
mendapatkan kesempatan berkuliah di Malaysia, saya akhirnya memutuskan untuk
mengambil intership di salah satu rumah sakit swasta di Malaysia. Jaraknya jauh, berkisar 2-3 jam perjalanan antara Perak dan Bangi. Namun
kelelahan ini mengajarkan saya akan banyak hal.
Fatimah, Gadis Kecil Ummi
Fatimah
berjalan perlahan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Abinya sesekali memberikan
minum pada Fatimah. Ketika namanya dipanggil, iapun perlahan masuk ke dalam
ruangan psikolog yang biasa menanganinya.
Bocah
kecil 5 tahun itu seharusnya sudah bisa berbicara dan bersekolah TK layaknya anak seumurannya. Ternyata Fatimah didiagnosa Global Development Delay (GDD). Gangguan ini ditandai dengan
keterlambatan perkembangan yang signifikan pada satu atau dua domain, yang
dapat berupa keterampilan motorik, kognitif, atau sosial emosi. Perilakunya belum terlihat berkembang nyata. Ia selayaknya anak-anak
berusia 2 tahun. Di ruang psikolog, sesekali ia menangis meminta kentang goreng.
Matanya berkedip-kedip ketika saya menyanggupi permintaannya. Senyumnya melebar
saat saya mengajaknya bermain. Sesekali diiring tawa diselanya.
Pasangan
suami-istri berusia 40-an tahun itu tidak
mengeluh tentang kondisi Fatimah. Mereka jauh lebih
bersyukur sebab di usia tak lagi muda, Tuhan masih menganugerahi seorang anak
yang kehadirannya telah ditunggu sekian lama.
Setelah
didiagnosa, Fatimah akhirnya harus menjalani beberapa terapi di rumah sakit. Di waktu selanjutnya bocah ini
akhirnya harus menjalani speech therapy,
yaitu terapi yang berfungsi meningkatkan
kemampuan berkomunikasi dan juga occupational therapy, sebagai terapi
yang memningkatkan kemampuan dalam kemampuan mengatur diri.kedua-dua terapi
tersebut diperlukan untuk membantu mengurangi Global
Development Delay (GDD) yang dihadapinya.
Shamir dan Dineswaran
Selama saya
di sana, saya juga pernah bertemu dengan anak lelaki kecil bernama Shamir. Ia menderita
autis yang menyebabkan ia tidak bisa berkomunikasi dengan orang orang lain,
bahkan untuk sekedar melakukan kegiatan sehari-hari saja sulit. Pergerakkannya
yang tidak teratur kadang-kadang membuat
sesi terapi jauh lebih sulit dari biasanya. Selama masa terapi Shamir sesekali
memanjat-manjat kursi, meja bahkan terkadang menjerit-jerit tanpa sebab.
Kondisi
Shamir yang seperti itu, mulai tampak ketika usia
3 tahun. Awalnya ibunya mengaku Shamir memiliki perkembangan normal. Namun,
Shamir perlahan-lahan mengalami perubahan. Ibunya mengatakan bahwa sang ayah
sering sekali mengancam dan memukuli Shamir jika Shamir tidak menuruti
kata-kata ayahnya.
Wanita yang
berdarah India-Cina tersebut, mengaku juga sering mengalami hal kekerasan
dulunya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk bercerai dan menjaga kedua anak
laki-lakinya sendirian.
Lain halnya
dengan Shamir, Dineswaran, adiknya mengalami ADHD (Attention-Deficit Hyperactive Disorder) atau yang sering dikenal
dengan hiperaktif serta menunjukkan perilaku destruktif yang tinggi. Dines
sering memecahkan barang-barang yang ada di rumahnya dan selalu saja membawa
tombak kayu seperti milik Krisna.
Saya juga teringat pertemuan saya dengan dua orang gadis yang seusia saya. Gadis
pertama berasal dari keluarga broken home. Orangtuanya bercerai. Kondisi
tersebut membuat dia terlibat dalam obat-obat terlarang, free sex, serta dunia
malam. Ia
sempat overdosis beberapa kali. Di usia 19 tahun, ia mengandung di luar nikah. Iapun
menikah dengan laki-laki yang menghamilinya dan akhirnya bercerai ketika bayi
perempuan mereka lahir. Di tahun selanjutnya, psikologpun menyatakan bahwa dia
menderita skizofrenia atau yang
sering dikenal dengan gangguan jiwa.
Hampir sama
dengan gadis yang pertama, gadis kedua memiliki
kepribadian yang lebih maskulin dan akhirnya masuk dan tinggal di asrama
laki-laki tanpa diketahui oleh orang tuanya. Bahkan ia tinggal
bersama kekasihnya dalam
satu rumah. Dia menyukai otomotif lalu bekerja di otomotif.
Ketika saya
bertemu dengan gadis itu, dia sedang hamil 7 bulan dan kini telah masuk ke shelter home (rumah tinggal) sambil menunggu kelahiran sang bayi. Iapun
mengaku telah menyesali perbuatannya yang dulu. Namun demikian, setelah
beberapa kali sesi, gadis itupun akhirnya didiagnosa menderita bipolar disorder, yaitu salah satu
gangguan mood yang menyebabkan seseorang mengalami perubahan mood secara
fluktuatif.
***
Pertemuan
saya dengan bocah kecil dan kedua anak laki-laki tersebut
mewakili dari banyaknya anak yang pernah saya temui dengan kebutuhan khusus
mereka. Mereka memberikan cerita tersendiri untuk saya. Diantara keterbatasan mereka, mereka tetap
bisa menjalani hidupnya dengan baik dan bahagia, bahkan membuat keluarganya
jauh lebih bersyukur dengan kehadiran mereka. Bahkan mereka juga bisa menjadi
anak-anak berprestasi.
Berbeda lagi
ketika saya bertemu dengan orang tua mereka juga membuat saya menyadari bahwa
kesabaran yang mereka miliki jauh lebih besar ketimbang yang saya miliki. Mereka mampu bertahan menghadapi anak-anak
yang luar biasa tersebut, menjaga dan mendidik mereka dengan penuh ketulusan,
yang mungkin tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak hanya itu, kondisi
kedua gadis tersebut juga membuat saya lebih banyak belajar tentang bagaimana
kita dapat mengisi waktu usia muda dengan hal-hal yang positif dan tidak
melibatkan diri dengan hal yang merugikan.
Tidak banyak
yang dapat saya bantu dari kedua gadis tersebut, terlebih status saya hanya
masih sebagai mahasiswa sarjana psikologi. Hanya saja, pertemuan saya dengan
keduanya membuat kami memiliki hubungan yang baik. Terkadang saya memberikan
saran dan simpati kepada mereka ketika mereka menunggu giliran untuk bertemu
psikolog atau semangat untuk mereka bisa kembali menjalani kehidupannya
kembali.
Ketertarikan
saya dalam sosial khususnya anak-anak dan wanita masih tetap saya temukan
ketika saya kembali ke Aceh. Jika dulunya di Malaysia saya melakukan intership
dengan anak-anak, kini di aceh saya melibatkan diri dengan sebuah NGO lokal
yang memberikan perhatian pada anak-anak yatim dan orang miskin. Saya dan
beberapa orang teman memcoba untuk membantu anak-anak tersebut dari beberapa
hal yang dapat kami lakukan. Setidaknya kami berharap dapat meringankan beban
yang mereka hadapi.
Seperti
beberapa waktu yang lalu, saya dan teman-teman pernah membuat kegiatan les
gratis, dimana kegiatan ini mengajak anak-anak yang masih sekolah dasar untuk
belajar bersama dan gratis. Anak-anak yang ada tersebut tinggal di daerah yang
tidak terlalu jauh dari kota Banda Aceh, namun memiliki kondisi pendidikan yang
kurang dan tidak setara dengan kebanyakan anak yang tinggal di daerah kota.
Berbagai
kondisi yang ada di lingkungan kita, seharusnya membuat kita bisa memberikan kesempatan
untuk perduli dan memberi kepada mereka yang membutuhkan. Saya yakin bahwa
kesempatan untuk memberi itu ada pada setiap
orang. Hanya terkadang ragam alasan yang
membuat niat
tersebut itu tertahan.
Bagi saya
sendiri, perduli dan mengabdi itu bukan hanya kepada orang-orang yang bahasa,
kulit dan tempat tinggal yang sama dengan saya. Kita bisa melakukan hal
tersebut dimana saja dan kapan saja. Bukankah
meringankan penderitaan orang itu menyenangkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar