rel='shortcut icon'/>

Jumat, 31 Desember 2010

surat untuk saudaraku yang berjilbab

 Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa kabar, ukhti? Semoga Allah swt selalu melindungimu dan membimbingmu. Karena Dia-lah yang berkuasa dan bertahta dari setiap nadi atas Hamba-Nya.
Akhir-akhir ini saya sering mencoba ‘mencemplungkan’ diri ke wilayah yang beraneka ragam, salah satunya adalah wilayah kalian yang senantiasa memakai jilbabnya yang lebar, baju-bajunya yang kebanyakkan gamis, dan selalu menjaga agar kaus kaki dipakai.
saya suka sekali berteman dengan mereka!
Apalagi ketika saya menemukan di antaramu yang memakai cadar (walaupun beberapa orang masih berbeda pendapat tentang cadar tapi saya menyukainya). Bagi saya, ukhti terlihat begitu anggun, dan istiqamah dengan pakaian itu serta memberika kesejukkan tersendiri ketika memandangimu. Pakaiannya menjadi sebuah bukti penghambaanmu kepada Tuhan. Sayapun menemukanmu dibalik jilbab itu adalah sosok orang yang menebar kebaikan dan keramahan dalam persaudaraan layaknya para wanita yang sering saya baca di dalam buku sejarah islam. Apalagi ketika saya mendengarkan kata-kata yang keluar dari bibirmu, pasti menambah rasa kagum dan akhirnya saya beranggapan “ini wanita penghuni Surga yang di janjikan Allah”.
INTINYA, saya menyukai akhlakmu dan menyukai keistiqamahmu hingga akhirnya saya harus mengakui bahwa saya merindui dirimu, ukhti.
Tapi…
Akhir-akhir ini, semenjak saya belajar tentang Psikologi, saya semakin paham bahwa tidaklah semua darimu memiliki gambaran yang ideal seperti yang saya bayangkan. Ukhti tidaklah wanita yang sempurna. Terkadang ada sifat-sifat darimu yang harus saya jadikan cacatan dalam buku kepribadian milik saya. Ya… sifat-sifat unik yang diberikan Allah kepadamu, ukhti.
Namun ternyata, setelah lama berlalu, saya semakin sadar bahwa kita diciptakan Allah dalam keadaan yang terbaik. Kita memiliki gen yang sama yang merespon semua pola tingkahlaku yang ada. Kita yang memiliki kendali atas diri kita sendiri termasuk dalam perilaku yang kita timbulkan.
Oleh karena itu, note ini terlahir diantara kita semua. Sebagi wujud instrospeksi diri yang ingin saya sampaikan.
Engkau mengajarkan dan mengenalkan saya tentang konsep menundukkan pandangan, tapi kenapa ketika engkau dengan laki-laki , engkau tidak melakukannya. Terlebih ketika engkau berhadapan dengan laki-laki yang mereka sebut ikhwan. Bahkan engkaupun bisa tersenyum malu-malu dan tertawa dengan bebas dengan mereka. Engkau yang mengajariku tentang berbicara lantang dengan laki-laki, tapi ku menemukanmu berbicara lembut dengan ikhwan. Bahkan berjalan dengan lemah gemulai di depan mereka.
Dari Qur’an, saya dan engkau mengenal tentang konsep persaudaraan layaknya sebuah bangunan yang saling menguatkan pondasinya. Tapi saya meringis ketika saya menemukanmu hanya tersenyum pada teman-temanmu yang memiliki jilbab yang sama besarnya denganmu, dengan mereka yang sama-sama menjadi aktivis dakwah di kampus birumu, atau dengan mereka yang engkau kenal melalui kajian-kajian rutin yang engkau ikuti. Tidak dengan saya atau dengan teman-teman saya, yang masih berjilbab kecil dan tidak selebar engkau, atau saya dan teman saya yang tak rutin mengikuti kajian jum’atan di mushallamu.
Dari pertemuan kita, saya menemukan tentang kekuatan saya dan kekuatanmu, ukhti, untuk selalu percaya diri dan memegang amanah kita. Tapi kenapa engkau masih saja tidak berani melangkah bersama, menemani menuju sebuah hak yang seharusnya kita miliki atau sebuah kepercayaan yang seharusnya kita jaga.
Keseharianku mengantarkanku kepada realita yang terjadi di masyarakatku. Engkau mengabaikan saya. Engkau memandang saya dengan sudut matamu dan membalas senyum saya dari sudut bibir manismu. Mengabaikan tentang seberapa besar keinginan kami mendapatkan senyum ikhlas darimu. Tapi, ketika temanmu datang menyapamu, maka tak ayal engkaupun berlari dan memeluk erat dirinya sambil menciumi pipi kanan-kirinya serta tersenyum mesra kepada mereka.
Saya tahu, bahwa kita adalah orang-orang yang sedang mencari ilmu di atas samudra Allah swt yang luas ini, tapi kenapa ilmu agamamu hanya engkau bagi untuk sahabat dan teman-teman terdekatmu, ukhti. Bukan dengan diriku dan teman-teman saya yang lebih membutuhkannya. Engkau berbicara tentang aurat, aqidah, tata cara ibadah yang benar, dll yang hanya dinikmati oleh beberapa orang. Meskipun saya telah mengetahui masalah itu, tapi saya merindukan ingatan darimu.
Ukhti yang dirahmati Allah… ini dunia maya. Ketika saya mengkomentari status-statusmu yang selalu mengajak kepada kebaikan, engkau membalasnya hanya dengan segelintir saja bahkan terkadang tidak engkau perdulikan. Tapi ketika laki-laki yang mengomentarinya, maka engkau serta merta membalasnya dengan riang gembira dan saling mendo’akannya. Tak salah jika engkau membalasnya dengan baik dan riang. Namun yang kupinta hanya sedikit kata yang tulus darimu dan do’a yang juga terucap darimu. Begitupula ketika saya sedang chat denganmu, tolong hargai pula diri dan jilbab itu.
Dari buku, kita sama-sama mengenal konsep ta’aruf dan tidak mengenal konsep pacaran, tapi kenapa beberapa saat kemudian saya menemukanmu berdampingan dengan laki-laki yang belum menjadi muhrimmu, menemukanmu berpacaran di sudut kampus dengan jilbab besarmu. Menemukanmu bercerita panjang dengannya di balik ponsel kecilmu di malam yang kelam. Saat itu saya harus menangis dan meneriakkannya di hati meminta pada Tuhan saya untuk menjaga aqidahmu dan akhlakmu agar engkau segera kembali bersama dengan-Nya.
Duhai ukhti, bersyukurlah karena kita telah berhasil ‘menjilbabi’ tubuh kita, tubuh fisik ini yang selalu dapat merasakan panas dinginnya hari, tubuh yang nantinya menjadi awal yang merasakan panasnya Neraka milik-Nya dan indahnya Surga yang dijanjikan-Nya. Tapi apakah hanya sebatas itu? Selesai ketika jilbab ini terduduk indah di kepala dan baju kita yang melebar? Tidak. Masih ada proses lain yang menanti kita. Proses yang menju kesempurnaan, meskipun kesempurnaan itu tidak pernah ada.
Menjilbabi hati kita. Menjilbabi semua akhlak yang kita punya, yang membuat orang-orang sekeliling kita merasa dongkol dan sakit karena kata-kata kita yang pedas atau tatapan kita yang mengurui.
Yang saya takutkan, Islam itu hanya akan terasa indahnya oleh dirimu saja, tidak dengan diri saya dan teman-temanku. Tidak dengan mereka yang tak pernah beribadah layaknya dirimu. Ku ingin, Islam ini tetap menjadi milik seluruh alam dan setiap orang bisa merasakan kedamaiannya, tidak hanya beberapa orang saja.
Harapan saya, islam kita memiliki pemahaman yang sama begitu juga dengan mereka yang berasa di sisi lain. Saya tidak menyukai ketika label LDK menjadi sandaran pertemanan kita, ketika label anak BAND menjadi memutus ukhuwah kita. Yang saya inginkan kebersamaan itu tetap terjaga dan dihargai.
Saya minta, untuk engkau tidak menjadikan perilaku itu sebagai sikap bawaanmu. Setahuku setiap perilaku itu memiliki kemungkinan untuk berubah dan perubahan itu hanya terjadi dari diri kita. Kitalah yang memiliki kendali atas setiap perilaku itu dan perubahan yang terjadipun hanya akan terjadi jika kita ingin melakukan perubahan itu.
Tulisan inipun situliskan bukan bermaksud untuk mengurui dan memaksamu untuk melakukannya. Layaknya beberapa teman saya yang bertanya mana yang lebih baik ‘menjilbabi’ hati dulu atau ‘menjilbabi’ diri dulu? Yang saya pilih adalah keduanya pada waktu bersamaan yang terus berproses. Karena kita manusia tidak akan pernah mampu menjilbabi hati kita selayaknya Rasulullah saw dan para sahabat.
mari kita meluruskan yang bengkok dan membersihkan yang berkarat dalam diri kita. Semoga tulisan itu menjadi salah satu introspeksi bagi diriku, dirimu, dia, dan mereka.
Semoga Allah menjaga dan melindungi diri kita dalam tidur dan terjaganya kita… amin… :)

Senin, 06 Desember 2010

Jangan Samakan Ibuku dengan Ibumu

Jangan samakan ibuku dengan ibumu.
Matahari tak hanya hadir satu arah di wajahnya,
Tapi di setiap sudut dimensi kehidupannya.
Pelangi tak terlukis di wajahnya,
Tapi terukir di setiap denyut nadinya.

Jangan samakan ibuku dengan ibumu.
Debaran jantungnya selalu hadir,
Dalam setiap khayal mimpiku.
Topeng yang ia punya tak banyak,
Hanya senyuman dan air mata

Jangan samakan ibuku dengan ibumu.
Biar wajahnya penuh jelaga hitam pekat,
Tapi, itu yang selalu yang aku mimpikan.
Biar peluh membasahi tubuhnya,
Tapi, itu yang selalu inginku peluk.
Biar parfum dapur menghiasi dasternya,
Tapi, itu yang selalu inginku hirup.

Total Pageviews